Memahami Potensi Perbedaan Awal Ramadan

Dalam memahami hadits-hadits nabi seputar hisab-rukyat, umat Islam mengalami perbedaan pendapat. Perbedaan tidak hanya dalam wacana, tapi sekaligus implikasinya dalam penentuan awal bulan kamariah. Sehingga tidak jarang dalam menetapkan awal puasa Ramadhan, Idul Fitri, puasa Arafah dan Idul Adha seringkali terjadi perbedaan, menariknya perbedaan bisa terjadi dalam rentang tiga hingga empat hari.
Perbedaan pendapat tentang hilal serta implikasinya dalam penentuan awal bulan kamariah akhirnya menguras energi umat Islam dalam perdebatan panjang dan cenderung menimbulkan konflik internal dan merusak ukhuwah Islamiah. Disharmonitas di kalangan umat Islam selalu rawan terjadi setiap menjelang awal bulan Ramadhan, Syawal dan Dzulhijjah yang berpotensi mengalami perbedaan.
Kontroversi seputar pemahaman hisab rukyat akhirnya harus kembali kepada masyarakat Islam yang harus dibuat bingung akibat keberadaan berbagai paham hisab rukyat yang beragam, bagi masyarakat yang terkait dengan ormas tertentu, biasanya mereka akan lebih mengikuti pendapat ormas masing-masing daripada pemerintah karena kedekatan kultural dan ikatan emosional.
Memahami Hisab-Rukyat
Di Indonesia, perbedaan pemahaman dalam hisab rukyat tidak hanya meruncing pada permasalahan hisab-rukyat, namun sekaligus dalam kriteria hilal yang menjadi dasar dan petunjuk waktu dalam memulai penetapan awal bulan. Pendapat rukyat mendasarkan pada pemahaman literal-parsial terhadap teks-teks nabi Saw yang menyatakan bahwa berpuasalah setelah melihat hilal, dan berbukalah setelah melihat hilal (HR Muslim), rukyat sekaligus dipahami secara tradisi yang dilakukan oleh nabi ketika menetapkan awal bulan kamariah adalah berdasarkan rukyat, rukyat merupakan permasalahan ta’abbudi. Meskipun dalam ranah praktik pendapat rukyat terjadi perbedaan dalam pemahaman masalah mathla dan kriteria saksi yang adil.
Sedangkan pendapat hisab memahami hadits-hadits hisab-rukyat tidak sebatas literal-parsial, tapi juga menautkan dimensi ideal wahyu dan peradaban manusia. Rukyat dipahami bukan sebagai tujuan dalam ibadah itu sendiri, melainkan hanyalah wasilah (sarana) dalam mengetahui kedudukan waktu, sehingga hilal dipahami secara substansinya sebagai alat penunjuk waktu (ibadah) dan perhitungan bagi manusia. Rukyat sekaligus merupakan permasalahan ta’aqquli, sedangkan hukumnya terkait dengan illat yaitu diterapkan pada bangsa yang ummi, maka sebagaimana kaidah fikih al-hukmu yaduuru ma’al illat wujudan wa ‘adaman.
Sifat Ijtihadiyah
Dalam memulai awal puasa Ramadhan 1434 H tahun ini hampir dapat dipastikan akan mengalami perbedaan. Ijtimak terjadi pada pukul 07.14 UT atau bertepatan dengan hari Senin, 8 Juli 2013 pukul 14.14 WIB. Penganut rukyat fi wilayatul hukmi kemungkinan akan memulai puasa Ramadhan pada Selasa, 10 Juli 2013 karena hilal masih terlalu rendah sehingga sangat tidak memungkinkan untuk dirukyat. Penetapan awal puasa Ramadhan 10 juli juga akan dilakukan oleh penganut hisab imkan rukyat. Ketinggian hilal di seluruh wilayah Indonesia yang masih dibawah 2 derajat, sehingga belum memenuhi kriteria imkan rukyat MABIMS ataupun imkan rukyat 4 derajat.
Penganut rukyat global kemungkinan akan menetapkan awal puasa Ramadhan pada 9 Juli 2013 karena ketika di Indonesia hilal masih terlalu rendah, di Arab Saudi hilal sudah cukup tinggi sehingga kemungkinan dapat dirukyat. Ketetapan serupa akan diambil oleh penganut wujudul hilal yang sudah memastikan menetapkan awal Ramadhan jatuh pada Selasa, 9 Juli 2013 dengan logika bahwa pada saat terjadi ijtimak, maka bulan Sya’ban telah berkahir, akan tetapi pada saat itu bukan berarti awal Ramadhan dapat dimulai karena pergantian hari dalam Islam adalah waktu maghrib, begitupula awal puasa Ramadhan karena kewajiban puasa adalah sesaat setelah fajar hingga terbenamnya matahari. Pendapat ini sekaligus dibuktikan bahwa dalam dokumentasi martin Elasser, Jerman bahwa dapat dibuktikan hilal sudah muncul dan bahkan dapat divisualisasi ketika baru berusia 10 menit setelah topocentric conjunction, karena hilal sebagai penunjuk waktu sudah muncul maka kewajiban ibadah puasa sudah turun.
Perbedaan pemahaman dalam permasalahan hisab rukyat awal bulan kamariah sesungguhnya merupakan sifat kehati-hatian masing-masing karena sifat ibadah yang harus dilaksanakan tepat pada waktunya, dan hukumnya dapat menjadi haram apabila dilakukan di waktu yang salah.
Selain itu, secara normatif perdebatan mengenai cara penetapan awal bulan kamariah sesungguhnya sudah berakhir karena masing-masing memiliki pendapat yang telah mengakar kuat dan didasarkan pada argumentasi dan dalil masing-masing. Memang sebagai umat Islam yang selalu diinginkan adalah bagaimana terwujudnya kesatuan dalam beribadah sehingga terwujud ukhuwah Islamiah yang kuat serta menunjukkan kesatuan umat Islam yang kokoh. Akan tetapi, permasalahan hisab rukyat awal bulan kamariah sesungguhnya adalah persoalan ijtihadiyah, selain itu tidak ada kebenaran mutlak atas kebenaran sifat ijtihadiyah, sifatnya kadang temporal dan situasional.
Namun melihat perkembangan yang ada, berbagai upaya dalam penyatuan kriteria dalam penentuan awal bulan kamariah memang sedang terus diupayakan melalui berbagai pertemua, riset dan kajian-kajian yang berkelanjutan. Maka ketika dalam menghadapi awal puasa Ramadhan yang seharusnya menjadi lahan dakwah dan merekatkan silaturrahim, sikap yang seharusnya dibangun ketika perbedaan masih terjadi adalah saling toleransi dan menghargai pendapat, dan bukan justru menjadikan akar perselisihan. Selain itu, Indonesia merupakan negara yang menganut sistem demokrasi yang berasaskan Pancasila, maka tidak ada kewajiban harus mengikuti ketetapan pemerintah karena akan bertentangan dengan UUD 45 terutama pasal 29, selain itu masalah penetapan awal bulan adalah masalah keyakinan yang tidak dapat diintervensi.
Sehingga kaidah hukmul hakim ilzamun wayarfatul khilaf tidak dapat diterapkan di Indonesia karena otoritas keagamaan tidak berada di tangan negara/pemerintah.

Muh Hadi Bashori
Dimuat di Radar Bojonegoro, Senin, 1 Juli 2013

Tinggalkan komentar