Sampingan

Dalam memenuhi perintah hadits penentuan awal bulan kamariah, selalu saja mengundang polemik. Tidak hanya dalam wacana, sekaligus implikasinya pada penentuan awal di mulainya ibadah puasa. Bahkan tidak jarang, perbedaan pendapat tentang sistematika penentuan awal bulan kamariah menimbulkan disharmonitas di kalangan umat Islam.
Di Indonesia, yang penduduk muslimnya merupakan terbesar Negara bangsa ini, hampir selalu terjadi perbedaan di dalam memahami dan mengaplikasikan pesan hadits nabi dalam menentukan awal bulan kamariah. Sehingga hampir setiap menjelang awal dan akhir ramadhan, masyarakat awam selalu mempertanyakan, kapan awal dan akhir ramadhan? Menariknya, perbedaan penentuan awal bulan tidak hanya berbeda satu hari, bahkan berhari-hari.
Kontroversi definisi hilal terkait kriteria penentuan awal bulan kamariah ini telah menyebabkan energi umat Islam terkuras. Di sisi lain, akibat terbesar dari adanya kontroversi ini tentu kembali kepada masyarakat Islam pada umumnya yang harus dibuat bingung menentukan pilihan mana yang harus di ikuti di antara pendapat-pendapat yang ada. Kecuali bagi masyarakat Islam yang menjadi bagian madzhab atau ormas tertentu, biasanya mereka akan lebih mengikuti pendapat madzhab atau ormasnya tersebut bahkan dari pada mengikuti keputusan pemerintah akibat kedekatan kultural dan ikatan emosional. Namun bagi masyarakat yang tidak terkait dengan madzhab tertentu, tentu akan mengalami kesulitan untuk menjatuhkan pilihan.
Potensi besar perbedaan penentuan awal ramadhan 1433 tahun ini akibat belum adanya kesepakatan definisi hilal terkait dengan penentuan. Disisi lain pemandangan tersebut menjadi bentuk ketidakkompakan umat Islam. Derasnya konflik internal dan pemahaman ketidakabsahan terjadinya perbedaan dalam satu wilayah administratif akhirnya memicu munculnya fatwa MUI agar seluruh umat Islam wajib mengikuti penetapan Pemerintah terkait penentuan awal bulan kamariah (republika, 13/07).
Dalam permasalaham fikih sosial, demi kesatuan dan harmonitas ukhuwah islamiah dalam satu wilayah administratif, keputusan paling bijaksana dalam penetapan awal dan akhir ramadhan sebaiknya milik otoritas pemetintah berdasarkan kaidah khidah hukmul hakim ilzamun wayarfatul khilaf, sehingga ketika pemerintah telah menetapkan maka seluruh masyarakat dalam wilayah administratif Negara harus mematuhinya.
Kritik Sidang Itsbat
Pembentukan Badan Hisab Rukyah pusat dan pelaksanaan sidang itsbat merupakan produk dari upaya pemerintah dalam mencari titik temu dan kesatuan kriteria tunggal dalam penentuan awal bulan kamariah. Namun hingga saat ini, sidang itsbat belum menemukan perannya yang signifikan.
Ada banyak hal mengenai kegagalan sidang itsbat dalam menjalankan perannya. Namun faktor terbesar masih belum diterimanya hasil sidang itsbat adalah karena forum sidang itsbat kurang berprinsip dan cenderung membela salah satu pihak mayoritas, atau secara lebih eksplisit yang menghambat keberlakuan hasil sidang itsbat adalah bahwa sidang itsbat dinilai tidak quarum, karena Kementrian Agama, MUI, URAIS, dan semua yang memegang kekuasaan dalam prosesi Itsbat adalah individu dari satu golongan yang sama sehingga memunculkan persepsi bahwa Itsbat hanya mendengarkan dari suara mayoritas dan menolak semua hasil rukyat (yang dinilai meragukan dan bersesuaian dengan hisab) dengan berbagai dalil dan pendapat-pendapat dari kalangan minoritas, bahkan cenderung mendiskriminasi dan mengintimidasi kelompok yang terlihat bersebrangan dengan suara mayoritas.
Sidang Itsbat yang merupakan fasilitas dari pemerintah dalam menyatukan perbedaan sekarang ini bukan jawaban melihat esensi dan faktor sosialnya, karena penentuan awal bulan murni merupakan otoritas keagamaan dan bukan otoritas politik apalagi harus menjumudkan keimanan yang mencakup sisi keyakinan terhadap penentuan waktu dalam prosesi ibadah. Sehingga pemerintah yang memegang kendali putusan dalam sidang itsbat tidak seharusnya mengedepankan kemaslahatan politik, tapi lebih pada kebenaran ilmiah yang obyektif. Selain faktor tranparasi serta efesiensi biaya, secara sosial dan waktu pun sangat menghambat.
Terwujudnya agenda penyatuan kriteria hilal akhirnya sangat mendesak untuk segera dicarikan titik temu, sehingga perdebatan mengenai perbedaan definisi hilal normatif seharusnya diimbangi dengan semangat fikih sosial dan pendekatan kebenaran ideo-sosiologis. Mungkin kali ini pemerintah tidak serta merta mengedepankan ego dengan memaksa masing-masing ormas untuk menurukan atau menaikkan kriterianya, tapi harus dilakukan dengan kebenaran ilmiah obyektif sehingga keputusan pemerintah memiliki legalitas dan kekuatan otoritas kebenaran.
Dengan kata lain, seandainya dalam beberapa tahun ke depan masih belum ada kesepatakan dalam mendefinisikan hilal, maka sikap yang seharusnya ditunjukkan adalah sikap saling menghormati dan toleransi terhadap keberagaman dan perbedaan pendapat. Perbedaan dalam penentuan masuknya waktu murni merupakan masalah ijtihadiyah, sehingga terjadinya perbedaan dalam ijtihad tidak harus mengakibatkan perselisihan dan saling menyalahkan karena tidak ada kebenaran mutlak terhadap sifat ijtihadiyah.

dimuat di Harian Republika pada 16 Juli 2012.
http://republika.pressmart.com/PUBLICATIONS/RP/RP/2012/07/16/ArticleHtmls/Autentisitas-Itsbat-16072012004024.shtml?Mode=1

Autentisitas Sidang Itsbat

Tinggalkan komentar