Memahami Cara Muhammadiyah Dalam Menetapkan Awal Ramadan


Perbedaan pendapat dalam memahami dan menginterpretasikan hadits nabi Saw terkait hisab rukyat seringkali menimbulkan polemik, terutama menjelang bulan Ramadan, Syawal dan Dzulhijjah. Implikasinya, dalam penentuan awal bulan kamariah yang terkait dengan prosesi ibadah umat Islam tersebut seringkali terjadi perbedaan. Perbedaan dalam penentuan awal Ramadan akhirnya menyulut perdebatan panjang dan sangat berpotensi merusak ukhuwah Islamiah, teruatama dengan adanya truth claim, padahal tidak ada kebenaran mutlak terhadap sifat ijtihadiyah. Acara debat di TV one kemarin (6/7) menunjukkan bagaimana perbedaan dalam pemahaman hadits nabi terkait hisab rukyat serta kedudukan keyakinan beragama masih diperdebatkan dan menimbulkan konflik.
Hampir dapat dipastikan bahwa dalam mengawali puasa Ramadan 1434 H umat Islam di Indonesia akan kembali terjadi perbedaan. Ketinggian hilal yang relatif rendah di atas ufuk dengan ketinggian 0o 18’ dengan markaz Pelabuhan Ratu, atau tidak mencapai kriteria 2 derajat untuk seluruh Indonesia sangat berpotensi menimbulkan perbedaan. Berdasarkan hisab sudah dapat diketahui bahwa bulan Syaban akan berakhir pada hari Senin, 8 Juli 2013 pukul 7.15 GMT atau 14.15 WIB, namun data tersebut menariknya menimbulkan perbedaan dalam menentukan awal puasa. Muhammadiyah sudah dipastikan akan menetapkan 1 Ramadan dan awal puasa pada keesokan harinya setelah berakhirnya bulan Syaban yaitu 9 Juli 2013, ketetapan ini sangat berpotensi “mendahului” dari ketetapan pemerintah yang kemungkinan akan menetapkan awal puasa pada 10 Juli 2013. Kondisi ini cenderung berpotensi menimbulkan perdebatan dan perseteruan kepada Muhammadiyah sebagaimana yang terjadi pada tahun-tahun sebelumnya.
Memahami Eksistensi Hilal
Sejarah mencatat bahwa pada masa rasulullah Saw penetapan awal puasa Ramadan ditetapkan berdasarkan rukyat hilal, hal ini juga sebagaimana yang ditegaskan dalam berbagai literatur hadits nabi Saw yang berbunyi, “suumu li ru’yatihi, wa aftiru li ru’yatihi…”. Namun yang menarik untuk dipahami bahwa hadits tersebut terkait rukyat dalam menetapkan awal puasa merupakan hasil reaksi basyariyah (sisi kemanusiaan) nabi Saw, kemudian nabi Saw memberikan petunjuk (irsyad) kepada para sahabat untuk mengumukan awal Ramadan untuk keesokan harinya. Hal inilah alasannya mengapa semasa nabi Saw hingga sepeninggalnya, para shahabat tidak ada yang perlu membentuk pos-pos khusus untuk memantau hilal.
Metode rukyat dapat dipahami dari latar belakang masyarakat Arab pada masa itu dimana masyarakat Arab dikenal sebagai masyarakat yang sangat sederhana, jauh tertinggal dari Mesopotamia (Mesir), Persia ataupun Romawi yang sudah memiliki peradaban, sehingga Islam (Alquran) menggunakan bahasa dan cara yang sederhana dalam mengajari masyarakat Arab, seperti petunjuk batas waktu sahur dengan pernyataan, “Makan dan minumlah kalian sampai kamu dapat membedakan benang putih dan benang merah pada waktu fajar” (al-Baqarah, 187). Hal ini kemudian dapat dipahami dalam hukum Islam bahwa perintah ada yang berillat, penetapan awal puasa dengan rukyat merupakan perintah berillat yang ditegaskan oleh nabi sebagai bangsa yang tidak bisa menulis dan menghitung (HR. Bukhari-Muslim). Rukyat sekaligus merupakan permasalahan ta’aqquli, sedangkan hukumnya terkait dengan illat yaitu diterapkan pada bangsa yang ummi, maka sebagaimana kaidah fikih al-hukmu yaduuru ma’al illat wujudan wa ‘adaman.
Rukyat sesungguhnya bukanlah bagian dari ibadah itu sendiri, melainkan sarana (wasilah) dalam mengetahui eksistensi waktu untuk menetapkan batas-batas waktu ibadah, atau bisa dipahami bahwa rukyat bukan sebagai tujuan ibadah. Sehingga disini hilal dapat dipahami bahwa hilal merupakan tanda-tanda waktu bagi manusia (Albaqarah, 189). Muhammadiyah memahami hilal bukan sebagai sebuah tradisi, namun pada substansi hilal yaitu sebagai petunjuk waktu bagi manusia, sehingga sarana dalam mengetahui hilal dapat dilakukan dengan cara hisab. Fakta astronomis, matematis dan sisi kemanusiaan memastikan bahwa metode hisab lebih mampu meminimalisir kesalahan, lebih akurat, dan dapat diaplikasikan dengan mudah serta lebih bermanfaat untuk jangka panjang. Semangat Alquran sesungguhnya adalah hisab, bahkan umat Islam pun dilabeli gelar sebagai khairu ummah.
Selain itu kontroversi perbedaan selama ini hanya dikaitkan pada saat peralihan hari, yakni sekitar maghrib. Padahal yang diperdebatkan sesungguhnya adalah ibadah puasa yang baru datang besok pagi sejak fajar. Maka inilah pentingnya perlu dipahami bahwa waktu astronomis dapat dipastikan Sya’ban berakhir pada 8 Juli 2013 pukul 14.15 WIB, akan tetapi tidak serta merta berpuasa pada waktu itu, karena pergantian hari adalah maghrib, sedangkan waktu ibadah terkait kewajiban puasa dimensi waktunya adalah fajar hingga tenggelam matahari, maka puasa dilaksanakan keesokan harinya.
Hisab Muhammadiyah
Awal pemikiran hisab Muhammadiyah ditandai dari ketidakpuasan Ahmad Dahlan dalam rutinitas masyarakat Islam yogyakarta yang terkukung dalam praktik penetapan awal bulan kamariah berdasarkan sistem Aboge yang sangat tidak dapat dipertanggungjawabkan, Ahmad Dahlan kemudian melakukan usaha pemahaman seputar hisab rukyat dan eksistensi hilal yang harus diperhitungkan dalam penentuan awal bulan kamariah, Ahmad Dahlan kemudian melakukan terobosan dengan menawarkan sistem hisab yang menjadi dasar pemikiran hisab Muhammadiyah. Ini sekaligus bahwa hisab Muhammadiyah bukan sebagai antitesa terhadao rukyat, tapi merupakan gerakan pembaruan keilmupengetahuan daripada mitos.
Dalam permasalahan hisab awal bulan kamariah, Muhammadiyah mempertautkan antara dimensi ideal wahyu dan peradaban manusia, sehingga Muhammadiyah berpandangan bahwa rukyat sebagai sarana dalam mengetahui eksistensi hilal memiliki alternatif yang lebih akurat dan tepat yaitu hisab, inilah yang akhirnya menjadi pilihan Muhammadiyah.
Namun di akhir-akhir ini, kritik terhadap Muhammadiyah tidak hanya dalam pedoman hisabnya, tapi juga kriteria wujudul hilal yang digunakan yang dijustifikasi sangat tidak kurang responsif terhadap perkembangan astronomi kontemporer. Harus dipahami bahwa pemikiran hisab Muhammadiyah terlahir berdasarkan dimensi ruang dan waktu yang melingkupi, bila pemikiran hisab merupakan hasil dari semangat memurnikan dari mitos Aboge keraton Jogja dan bukan antitesa terhadap rukyat, maka kriteria hisab lahir berdasarkan tuntunan dan perkembangan zamannya. Sehingga dalam HPT Muhammadiyah mengakui bahwa ada empat cara dalam menetapkan awal bulan kamariah; rukyat, kesaksian orang adil, istikmal 30 hari dan hisab.
Kriteria hisab Muhammadiyah sesungguhnya telah mengalami beberapa perubahan menyesuaikan perkembangan dan perbaikan kriteria. Pada mulanya Muhammadiyah menggunakan hisab hakiki dengan kriteria imkan rukyat, kemudian beralih kepada kriteria ijtima’ qabla ghurub, kriteria tanpa memperdulikan irtifa’ hilal ini digunakan Muhammadiyah hingga tahun 1937 M/1356 H. Terakhir mulai tahun 1938 M/1537 H Muhammadiyah mulai menggunakan teori wujudul hilal, sebuah teori yang ditempuh sebagai jalan tengah antara sistem hisab hakiki imkan rukyat dan ijtima’ qabla ghurub, artinya kriteria ini tidak semata berdasarkan ijtima, namun juga memperhitungkan kedudukan hilal di atas ufuk. Kriteria ini sekaligus sebagai upaya dalam memadukan tuntutan dalil Alquran dan sunnah. Menariknya, perkembangan kriteria ini sama dengan perkembangan kriteria yang digunakan Arab Saudi dalam menyusun kalender ummul qura yang kini menggunakan kriteria seperti kriteria wujudul hilal merupakan hasil perkembangan dari kriteria imkan rukyat yang telah lama ditinggalkan dan tidak memiliki landasan kuat kecuali hanya menerjemahkan kriteria rukyat dalam bentuk angka.
Pada prinsipnya, dalam menganut dan mengamalkan ajaran agama, masing-masing umat manusia memang harus mempertanggungjawabkan atas keikutsertaannya. Semoga dapat dipahami dan dapat menjaga ukhuwah Islamiah di kalangan sesama umat Islam, ke depan upaya unifikasi kalender hijriyah perlu terus diupayakan demi kebenaran mutlak dan kesatuan hakiki, jika masih terdapat perbedaan maka sikap yang harus ditunjukkan adalah toleransi dan menghargai perbedaan pendapat. Biarlah menjadi lakum rukyatukum, wali hisabi, sedangkan bagi warga Muhammadiyah untuk tetap teguh dalam keyakinan untuk memulai puasa hari ini, Selasa, 9 Juli 2013.

Muh Hadi Bashori
Dimuat di Harian Pelita edisi 13 Juli 2013